Strategi Pengajaran Berbasis Keterampilan Sosial Emosional (SEL)
Perhatikan
beberapa catatan/kasus di bawah ini dan mungkin terjadi saat pembelajaran di
kelas, mana yang biasa Bapak/Ibu lakukan?
|
Situasi Kelas (Pembelajaran) |
Respon Guru Tradisional yang Fokus
Pada Intruksional |
Respon Guru Berbasis Efikasi Diri (Social
Emosional Learning/SEL) |
|
Murid terlihat
bosan atau mengeluh materi sulit |
Menegur
murid agar tetap fokus dan mengingatkan tentang nilai atau ujian yang akan
datang. |
Melakukan
check-in emosi atau energy breaker. |
|
Murid frustrasi
karena tidak paham materi yang sangat sulit. |
Menganggap
murid kurang belajar dan memintanya untuk lebih rajin membaca buku paket
secara mandiri di rumah. |
Validasi
emosi dan memberikan scaffolding. |
|
Murid
terus bertanya atau takut mencoba sendiri. |
Langsung
memberikan jawaban benar agar kelas tetap kondusif dan tidak membuang waktu
pelajaran. |
Memberi
strategi agar murid mencoba sendiri. |
|
Murid
mengekspresikan emosi negatif (kecewa/marah/sedih, dll). |
Menilai
perilaku tersebut sebagai tindakan indisipliner dan memberikan teguran atau
hukuman agar murid diam. |
Menunjukkan
simpati dan mencari akar masalah |
|
Murid
terlibat konflik kecil dengan teman saat kerja kelompok. |
Meminta
mereka diam atau memisahkan kelompok secara paksa tanpa menyelesaikan inti
permasalahan antar individu. |
Melatih
komunikasi untuk resolusi konflik. |
|
Transisi
antar mata pelajaran yang berisik/kacau. |
Berteriak
meminta tenang atau memukul penggaris ke meja untuk mendapatkan perhatian
murid secara instan. |
Membantu
murid mengelola emosi dan energi yang meluap dari pelajaran sebelumnya,
misalnya dengan teknik STOP. |
|
dll
... kasus lainnya |
|
|
Mari
Kita sedikit kupas.
Strategi
pengajaran yang membangun keterampilan sosial emosional pada dasarnya merupakan
perwujudan kinerja guru dalam menerapkan berbagai pendekatan untuk menumbuhkan efikasi
diri pada murid.
Dalam
konteks ini, efikasi diri bukan sekadar kepercayaan diri biasa, melainkan
kemampuan murid untuk mengelola emosinya secara efektif dan menggunakan
keterampilan sosial emosionalnya guna mengatasi berbagai tantangan yang muncul
dalam proses pembelajaran. Dengan efikasi diri yang kuat, murid tidak hanya
menjadi pembelajar yang cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh secara
mental.
Guru
yang menerapkan strategi ini memiliki ciri khas utama dalam cara mereka
berinteraksi dengan dinamika kelas. Mereka secara sadar merancang proses belajar yang responsif terhadap
kondisi sosial emosional murid.
Guru
tidak lagi menempatkan emosi sebagai gangguan dalam belajar, melainkan sebagai
bagian integral dari proses tersebut. Mereka melibatkan murid secara aktif
dalam merancang dan menerapkan metode sistematis untuk menggali serta memahami
emosi yang dirasakan, sehingga tercipta ruang kelas yang interaktif dan saling
mendukung.
Jika
guru memberikan respon Berbasis Efikasi Diri (Social Emosional Learning/SEL)
ini akan berdampak positif dalam jangka panjang pada murid, antara lain:
- Murid belajar mengenali kebutuhan tubuh dan mentalnya (Self-awareness).
- Tumbuhnya ketangguhan (resilience) dan tidak mudah menyerah saat gagal.
- Meningkatnya efikasi diri dan kemandirian dalam memecahkan masalah.
- Murid merasa aman secara psikologis dan percaya pada figur otoritas (Guru).
- Memiliki keterampilan sosial yang baik untuk bekerja sama dalam tim di masa depan.
- dan lain-lain
Mengapa tindakan ini sesuai SEL?
1. Regulasi
Diri (Self-Management):
Murid belajar menenangkan diri sendiri tanpa paksaan/ancaman.
2. Kesadaran
Diri (Self-Awareness):
Murid menyadari bahwa mereka sedang terdistraksi dan perlu kembali fokus.
3. Lingkungan
Aman: Guru tidak
menggunakan emosi negatif (marah-marah) untuk menenangkan kelas, sehingga
hubungan guru-murid tetap positif.
Salah
satu kriteria penting dari guru yang kompeten dalam bidang ini adalah
kemampuannya membantu murid mengelola emosi saat berhadapan dengan pembelajaran
yang sulit. Ketika murid mengekspresikan emosi negatif seperti kebosanan,
frustrasi, atau rasa lelah terhadap materi yang menantang atau karena hal
lainnya, guru tersebut menunjukkan simpati yang tulus. Guru tidak hanya sekadar
mendengarkan keluhan, tetapi berupaya memahami akar masalah dan
menindaklanjutinya dengan tindakan nyata. Pendampingan ini dirancang khusus
untuk memperkuat kemampuan murid dalam menavigasi kesulitan tanpa kehilangan
motivasi.
Selain
penanganan emosi, strategi ini juga menitikberatkan pada pemberian dukungan
agar murid memiliki kemandirian dalam proses belajar. Guru bertindak
sebagai fasilitator yang menyediakan "scaffolding" atau perancah
mental, sehingga murid mampu mengambil kendali atas pembelajaran mereka
sendiri. Dengan penguatan pada aspek kemandirian, murid belajar untuk tidak
bergantung sepenuhnya pada instruksi eksternal, melainkan mampu mengatur
strategi belajar dan regulasi diri yang diperlukan untuk mencapai tujuan
akademik mereka.
Secara
keseluruhan, kinerja guru yang berfokus pada pengembangan sosial emosional
menciptakan ekosistem pembelajaran yang manusiawi. Melalui pendampingan yang
terencana, guru membantu mengubah hambatan emosional menjadi peluang
pertumbuhan. Fokus utamanya adalah membekali murid dengan "alat"
psikologis yang diperlukan agar mereka dapat menghadapi tekanan akademik dengan
kepala dingin, kemandirian yang tinggi, dan stabilitas emosi yang kokoh.
Mengapa guru perlu
menerapkan strategi pengajaran yang membangun keterampilan sosial emosional?
·
Emosi
adalah Pintu Gerbang Kognisi:
Secara neurologis, otak manusia sulit memproses informasi akademik dengan
maksimal jika berada dalam kondisi stres atau emosi negatif yang tidak
terkelola. Dengan menstabilkan emosi murid, guru sebenarnya sedang membuka
jalan bagi fungsi kognitif yang lebih baik.
·
Ketahanan
di Masa Depan:
Tantangan di dunia nyata tidak hanya memerlukan kecerdasan intelektual, tetapi
juga ketangguhan mental. Strategi ini membekali murid dengan kemampuan problem-solving dan
regulasi diri yang sangat dibutuhkan di kehidupan dewasa mereka.
·
Meningkatkan
Motivasi Intrinsik:
Ketika murid merasa dipahami (melalui simpati guru) dan diberikan ruang untuk
mandiri, mereka akan memiliki keterikatan yang lebih kuat terhadap sekolah dan
pembelajaran. Hal ini menurunkan angka putus sekolah secara psikologis (psychological dropout)
dan meningkatkan partisipasi aktif di kelas.
Sumber:
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). (2022). Panduan Pembelajaran Sosial Emosional di Kurikulum Merdeka, dan berbagai sumber lainnya.
Terima kasih.

No comments:
Post a Comment