Membangun Kolaborasi dengan Orang Tua dalam Memberikan Perhatian dan Bantuan pada Murid yang Membutuhkan Dukungan Lebih.
1.
Pelibatan Orang Tua sebagai Kunci
Pelibatan murid dan orang tua/wali bukanlah sekadar pelengkap
administratif, melainkan sub-indikator esensial yang menentukan keberhasilan
pemberian dukungan ekstra. Praktik kinerja guru yang efektif mengharuskan
komunikasi dua arah yang melampaui sekadar pemberitahuan masalah. Guru harus
memandang orang tua/wali sebagai mitra
setara yang memiliki informasi unik mengenai latar belakang, kekuatan,
dan tantangan anak di luar konteks kelas. Kerangka kerja pendidikan inklusif menegaskan
bahwa dukungan yang efektif memerlukan kesamaan pemahaman antara lingkungan
belajar di sekolah dan lingkungan di rumah, sebuah konsistensi yang mustahil
dicapai tanpa kolaborasi yang terencana dan mendalam (Heward, 2013).
2. Membangun Perencanaan Bersama
Langkah
detail guru dalam melibatkan orang tua adalah melalui proses perencanaan bersama (co-planning).
Setelah murid yang membutuhkan dukungan ekstra teridentifikasi, orang tua harus
dilibatkan dalam diskusi untuk membuat rencana
dukungan individual yang disesuaikan. Perencanaan ini harus terbuka
untuk masukan dari orang tua mengenai motivasi anak, gaya belajar di rumah,
atau intervensi yang mungkin sudah mereka coba. Melalui proses ini, guru tidak
hanya mendapatkan wawasan berharga, tetapi juga menciptakan rasa kepemilikan (ownership) pada
orang tua terhadap tujuan pembelajaran anak mereka. Guru harus memastikan bahwa
perencanaan tersebut realistis dan dapat diterapkan secara konsisten di kedua
lingkungan, sehingga strategi yang diterapkan di kelas diperkuat oleh tindakan
di rumah.
3. Komunikasi Dua Arah dan Konsistensi
Dukungan
Inti
dari pelibatan ini adalah penjaminan konsistensi
dukungan. Konsistensi ini hanya tercapai melalui komunikasi dua arah
yang terjadwal dan efektif. Guru harus menyediakan mekanisme umpan balik yang
teratur (misalnya, jurnal komunikasi harian atau pertemuan bulanan) untuk
berbagi kemajuan dan hambatan. Lebih penting lagi, guru harus melatih orang
tua/wali dalam menerapkan teknik atau strategi spesifik yang digunakan di
sekolah, misalnya cara memberikan scaffolding saat mengerjakan pekerjaan
rumah atau teknik manajemen perilaku tertentu (Epstein, 2009). Keterampilan
yang sama yang diajarkan di sekolah perlu direplikasi di rumah agar murid tidak
mengalami kebingungan atau diskontinuitas dalam belajar.
4. Mengumpulkan Sumber Daya dan
Mengatasi Hambatan
Tugas
guru juga meluas hingga membantu orang tua dalam mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk dukungan ekstra.
Ini bisa berupa merekomendasikan materi bacaan tambahan, menghubungkan orang
tua dengan layanan pendukung komunitas, atau bahkan membantu orang tua
mengakses pelatihan atau workshop yang relevan. Guru harus bertindak
sebagai fasilitator dan penghubung
(Henderson & Mapp, 2002). Selain itu, guru yang inklusif peka terhadap
potensi hambatan yang dimiliki orang tua, seperti keterbatasan waktu, kendala
bahasa, atau kurangnya pemahaman tentang sistem pendidikan. Guru harus
menyesuaikan metode komunikasi dan pelibatan mereka agar inklusif terhadap
semua latar belakang orang tua.
5. Dampak pada Capaian Murid dan
Kesehatan Mental
Penyatuan
dukungan antara sekolah dan rumah ini memiliki dampak yang signifikan pada
capaian akademik dan kesejahteraan emosional murid. Ketika murid melihat orang
dewasa yang penting dalam hidup mereka (guru dan orang tua) bekerja sebagai
satu tim, hal ini menumbuhkan rasa aman
dan termotivasi yang kuat. Penelitian menunjukkan bahwa kemitraan
sekolah-keluarga yang kuat berkorelasi positif dengan peningkatan prestasi
akademik, kehadiran yang lebih baik, dan penurunan masalah perilaku (Jeynes,
2007). Oleh karena itu, kemampuan guru dalam membangun kolaborasi yang kuat
dengan orang tua/wali adalah fondasi utama untuk memastikan bahwa murid yang
membutuhkan dukungan ekstra tidak hanya mencapai tujuan pembelajaran, tetapi
juga mengembangkan kesehatan mental dan harga diri yang kokoh.
Terima
Kasih
No comments:
Post a Comment