Oleh
karena itulah, tampak dengan jelas dan tercatat dalam Pembukaan Undang Undang
Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, bahwa salah satu
tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bangsa
yang cerdas terlahir dari individu-individu yang cerdas. Dengan demikian akan
dapat memahami secara jelas makna dan tujuan (hak dan kewajiban) hidup, baik
secara pribadi, kelompok, bahkan sesama umat manusia di dunia (habluminannas),
termasuk bagaimana menjalin hubunganya dengan Yang Maha Kuasa (habluminallah).
Sejak
dulu kala, para pendiri negreri ini telah menyadari betul pentingnya membentuk
genarasi yang berkualitas.yang mampu mengisi dan mempertahankan serta
mewujudkan tujuan pendirian bangsa dan negara ini dengan baik.
Salah
satu wujud nyata dalam membentuk generasi cerdas adalah melalui progran
pendidikan dan pengajaran bagi seluruh warga negara. (UUD Dasar 1945, Pasal:
26). Lalu dimanakah tempat pendidikan dan pengajaran itu berlangsung?
Jenis
pendidikan yang dapat dilalui oleh anak atau individu antara lain yaitu: (1)
pendidikan informal; (2) pendidikan formal; (3) dan pendidikan nonformal.
Proses
pendidikan dan atau pengajaran pertama yang diperoleh anak adalah pendidikan
dalam keluarga dan lingkungan atau disebut pendidikan informal. Proses
pendidikan ini berlangsung sejak dalam rahim hingga memasuki pendidikan formal
atau nonformal. Bahkan pendidikan dalam keluarga berlangsung sampai tak
terhingga. Karena sekalipun anak telah beranjak dewasa dan bahkan menjadi
sebagai pribadi yang mendiri, maka secara tidak langsung ia akan tetap mendapat
bimbingan, arahan, petuah dan lainnya dari kedua orang tua. Pendidikan informal
tidak ada bukti secara tertulis bahwa ia telah menyelesaikan pendidikan bersama
orangtuanya, akan tetapi perannya sangat luar biasa karena sebagai pondasi bagi
proses pendidikan lebih lanjut.
Manusia
belajar melalui apa yang didengar, dilihat, dan apa yang diraskannya. Maka
sangat penting bagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang untuk
mendapatkan pengalaman yang diperoleh melalui inderanya berupa pengalaman yang
baik dan mengesankan dan bernilai positif untuk masa depannya, terlebih
anak-anak belum banyak mengetahui tentang kehidupan dunia luar yang lebih luas.
Pada
dasarnya manusia belajar dan tumbuh serta berkembang diawali dari pengalaman
yang diperolehnya melalui kehidupan keluarga untuk sampai pada penemuan
bagaimana ia menempatkan diri kedalam keseluruhan kehidupan tempat ia berada.
(Semiawan, 2009:63). Selanjutnya menurut beliau bahwa disiplin dalam diri
anggota keluarga yang sehat, yang dilandasi oleh kualitas emosional habitual
yang positif, serta mencerminkan rasa aman yang dimiliki anggota keluarga yang
menaati berbagai peraturan akan menghasilkan realisasi diri (self realization) dan integritas
kepribadian yang akan tumbuh dan, mengakar pada kepribadian anak.
Kepedulian
dan keberhasilan pendidikan keluarga belum sepenuhnya terwujud, karena masih
banyak orang tua yang belum memahami betul pentingnya pendidikan dalam
lingkungan keluarga yang akan melatarbelakangi dan memberikan fondasi yang
kokoh bagi pendidikan pada jenjang selanjutnya. Tingkat pendidikan orang tua
menjadi salah satu penyebeb rendahnya kepedulian pendidikan orang tua terhadap
pendidikan itu sendiri. Atau bahkan banyak orang tua yang berpendidikan tinggi
dan paham akan pentingnya pendidikan keluarga, akan tetapi karena berbagai
kesibukan pekerjaan dan lain-lain tidak mampu mengoptimalkan perannya sebagai
orang tua terhadap anak-anaknya.
Pada
kasus ini, orang tua hendaknya meluangkan waktu sekecil apapun bagi
anak-anaknya antara lain melalui keteladanan baik sikap, perkataan, maupun
perbuatan di hadapan ataupun tidak terlihat oleh anak-anak. Dengan demikian
orang tua yang senantiasa memperhatikan dan peduli terhadap anak-anaknya,
memperhatikan dan mencukupi segala keperluannya baik lahiriah maupun batiniah,
maka akan terlahir orang tua yang menjadi sosok teladan dan pujaan bagi
anak-anaknya kapan dan dimanapun.
Tahap
pendidikan yang kedua adalah pendidikan formal yang diawali pada jenjang
pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Dan tahap pendidikan
ketiga adalah pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal
disebut juga pendidikan luar sekolah dapat juga merupakan pendidikan yang
memiliki keluwesan yang berkaitan dengan waktu dan lama belajar, usia peserta
didik, dan isi pelajaran. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan
keterampilan yang mempersiapkan peserta didik agar memiliki keterampilan
tertentu, misalnya dalam bidang produksi atau jasa, serta meningkatkan
kehidupan sendiri. (Semiawan, 2009:71).
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. (UU Nomor 20 Tahun 2005, Bab 1: Pasal 1).
Proses
pendidikan jenjang dasar dan menengah dilaksanakan disebuah lembaga atau tempat
yang disebut sekolah, yaitu suatu lembaga yang menghendaki kehadiran penuh
kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin guru
untuk mempelajari materi ajar yang diturunkan dari kurikulum-kurikulum yang
betingkat. (Mukhtar, samsu, dan Rusmini, 2002).
Dewasa
ini, proses pendidikan pada jenjang pendidikan formal menjadi sorotan dan
sekaligus manjadi andalan pemerintah dalam mewujudkan citia-cita perjuangan
bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa untuk membentuk generasi penerus
bangsa yang memiliki watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat, sehingga berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Sekolah sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada
jalur formal memberikan dampak yang siginifikan dalam membentuk
generasi yang berkualitas.
Oleh karena itu proses atau penyelenggaraan pendidikan formal (di sekolah)
haris benar-benar dikelola secara optimal agar terjadi interaksi, kolaborasi,
dan saling menguatkan antar sesama warga sekolah terutama peserta didik yang
sedang belajar, sehingga tercipta suasana yang mendukung dalam proses belajar
mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang berkualitas. Dengan
demikian akan terwujud lulusan
(generasi) yang memiliki kompetensi dalam menghadapi dunia luar yang semakin
plural.
Di sekolah anak akan mendapat bimbingan dan
pengarahan (asuhan) dari pendidik (guru) dan tenaga kependidikan yang telah
diberikan kewenangan untuk mengembangkan bakat dan minat, baik melalui
aktivitas intrakurikuler, kokurikuler, maupun ektrakurikuler, serta
memungkinkan melakukan interaksi dengan teman sebaya sebagai mahluk sosial. Anak
juga akan mulai mampu mengmbangkan dan memahami siapa dirinya, dan akan tumbuh
pula kesadaran bersosialisasi dengan orang lain yang memungkinkan berkembangnya
nilai-nilai karakter positif pada diri anak, seperti cinta tanah air, integritas,
gotong royong, religius, dan lain-lain.
Sebagai pusat belajar bagi anak-anak, maka sekolah
harus memenuhi standar minimal pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh
undang-undang. Standar tersebut terdiri dari delapan standar yang harus
terpenuhi, yaitu: Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Sandar Isi, Standar Proses,
Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar
Pengelolaan, Standar Penilaian, dan Standar Pembiayaan. Kedelapan satandar
tersebut seyogyanya dipenuhi oleh satuan pendidikan sebagai prasyarat sebuah
lembaga yang profesional. Tentu yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah
apakah standar nasional pendidikan tersebut telah dipenuhi oleh seluruh lembaga
penyelenggara pendidikan formal di tanah air?
Terpenuhi atau tidak, lengkap atau tidaknya
fasilitas sekolah, maka sekolah harus tetap memberikan yang terbaik dalam
memberikan layanan kepada warga sekolah terutama kepada peserta didik agar
mereka tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang baik, yang memiliki
kompetensi, bagaimanapun caranya. Di sekolah sering siswa dihadapkan dengan
berbagai macam persoalan, baik yang bersifat pribadi, maupun masalah terkait
dengan orang lain, misalnya kesulitan belajar, kasus indisipliner di sekolah,
kekerasan, tawuran, maupun terkait masalah keluarga dan lain-lain, dan guru
merupakan solusi bagi peserta didik untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Gambar 1: Sekolah Sebagai Pusat
Belajar
Sumber: Gambar Pribadi
Sebagai pusat
layanan pendidikan, sekolah harus mampu menerapkan standar minimal sejak
rekrutmen (input) calon peserta didik
(penerimaan peserta didik baru) hingga proses kelulusan (output). Pemberian layanan secara optimal kepada seluruh lapisan
masyarakat mencerminkan budaya sekolah yang baik sebagai lembaga dan pusat
belajar bagi peserta didik, dengan demikian tingkat kepercayaan masyarakat dan stakeholder terhadap sekolah akan makin
meningkat.
No comments:
Post a Comment